Wednesday, June 10, 2015

CHAPTER 18: Koridor Maumere

Hanya sepuluh hari ( 31 januari-10 Februari ) kami berada di koridor Maumere ( suatu ruangan panjang dengan nuansa kuno jaman penjajahan Belanda ). Kami kembali diserahkan ke baat party.

Sebuah penjara yang semuanya berwarna coklat kusam dan jorok. Dinding serta pintu penjara begitu tebal, terbuat dari baja anti peluru. Sampai hampir tidak bisa terdengar suara-suara dari luar. Kontak dengan luar tidak ada, kecuali tangan petugas yang memasukkan makanan lewat lubang kecil bawah pintu penjara. Kami cuma diberi selembar selimut sebagai penghangat tubuh dari lantai penjara yang dingin.

Penjara besar itu penuh dengan orang luka. Para penderita bukan cuma terbaring di veldbed,  tetapi juga di lantai yang dingin. Bunyi erangan, teriakan dan bau tak sedap yang menyeruak dari tubuh pasien yang terluka menyambut kami.

Cicit-cicit tikus got menambah ramainya suasana, ramai hilir mudik, berkerumun di sudut-sudut lorong seperti orang yang sedang demo seakan tidak perduli akan kehadiran manusia, dan dengan jalangnya mereka mencuri makanan, menjilati darah kering yang melekat di kain perban bekas pasien yang ada dalam tempat sampah yang ada di koridor tersebut. Terlampau banyak lubang menganga di tembok koridor, celahnya besar-besar, nampak memberi kesempatan, agar tikus-tikus got tersebut bisa berseliweran di dalam koridor.

Aku melihat ada ratusan penduduk pribumi yang juga luka-luka. Sampai detik ini, Aku masih bisa membayangkan bagaimana jeritan dan erangan pilot F-16 Thailand yang tertangkap, terluka, yang diangkut bersama Kami. Kepala dan badannya hangus terbakar. Ia dibungkus dengan perban kertas. Karena ia berontak, perbannya terlepas semua sehingga lukanya tampak.

Ada juga pilot dari Skadron A-4 Skyhawk lanud Pekan baru yang terluka kena gangrene. Ia terus-menerus mengigau, berteriak-teriak memanggil-manggil  emaknya. “Emaaaaakkk !!! ... emaaaakk!! ... sakiiit maaaakk !! ... lebih baik Aku mati saja!”, teriak orang itu. Tiba-tiba pilot itu menendang seorang prajurit muda yang berasal dari kota Tegal yang tungkainya diamputasi untuk melampiaskan kekesalan dan rasa depresinya. Bertambah satu lagi orang yang berteriak mengerang kesakitan dengan logat kota Tegal yang kental. “Emaaakkk! ... sakiiitt makkk!! ... ana wong edan sing nendang sikile nyong!”. Suasana penjara pun jadi bertambah miris dengan erangan-erangan kesakitan dari orang-orang yang sakit dan frustasi.

Kami berdua ditaruh di tingkat paling atas, yaitu tempat mereka menyekap orang-orang yang terluka, juga berstatus sebagai tawanan perang. Ruang itu penuh sesak. Banyak diantara mereka yang luka parah. Pasien yang tidak muat lagi diruangan, ditampung di lorong-lorong, pada ranjang susun. dokter tidak ada, yang ada cuma beberapa perawat dari rumah sakit terdekat yang juga berstatus sebagai tawanan, serta pengawal-pengawal D-myth. Perlengkapan medis tampaknya kurang sekali.

Sudah enam minggu Kami dipenjara. Tubuh yang jarang mendapat makan juga menyusut banyak alias kurus. Sementara telinga jadi terbiasa mendengar ramainya ledakan bom bergantian dengan bunyi sirine.

Tapi tanggal 23 Februari, sejak pagi tidak terdengar ledakan bom. Baru pada sore harinya tiba-tiba terlihat cahaya terang dan gedung penjara terasa bergetar kuat. Gedung penjara kami menjadi ajang sasaran bom koalisi.

Tidak lama, terdengar lagi ledakan bom. Ledakan kali ini samapi merontokkan sebagian tembok sel. Kami mulai panik, dan berteriak minta keluar. Untung juga dinding sel kami tebal. Tapi untung dengan rontoknya sebagian dinding sel, kami malah bisa mengobrol walaupun dengan berteriak-teriak.

Ketika rombongan petugas pemadam kebakaran didatangkan untuk menolong kami, baru kami tahu para penjaga kami tewas semuanya, saat mereka sedang berlindung di bawah tangga yang sudah runtuh.

Karena tidak berhasil menemukan kunci sel, petugas pemadam kebakaran terpaksa harus bekerja keras menjebol sel kami. Akibatnya, malam itu hanya sebagian dari kami yang berhasil dikeluarkan.