Saturday, April 11, 2015

CHAPTER 9: Pertempuran Dalam Pekat Malam

Di sore hari tanggal 6 September 2020, saat sang surya mulai berangkat keperaduan, Kami, empat pilot skadron khusus, sudah berada dalam minibus khusus perwira yang mengantar kami menuju shelter pesawat tempur.

Kali ini kami berangkat dengan kondisi Hallorran yang berbeda. Di bawah perut pesawat itu kini melekat 8 bom berbobot 500 kg ( dalam latihan, kami selalu membawa sebuah ). Kami juga membawa 2 misil AIM-9L Sidewinder dengan cincin berwarna merah yang artinya “live” ( rudal berhulu ledak ), di bawah sayap, ini merupakan pertama kalinya bagiku dan teman-teman. Pada saat latihan tempur Kami biasanya menggunakan rudal “dummy” dengan cincin berwarna putih yang tidak memiliki hulu ledak dan tidak dapat diluncurkan, karena hanya digunakan untuk latihan.

Selain itu juga terdapat sistem elektronika yang didesain untuk mengacaukan dan mengalihkan pemandu misil atau alat pelacak radar musuh yang tertanam di badan Hallorran. Kami juga membawa amunisi untuk satu meriam Vulcan 30 mm yang terpasang di hidung pesawat, yang mampu memuntahkan 3.500 peluru dalam setengah menit.

Kami siap terbang setelah melakukan pengecekan keadaan pesawat.

“Clear start APU”, The Auxilliary Power Unit ini adalah mesin jet kecil di pesawat yang berfungsi memancing mesin utama.

“Clear to start APU, sir”, jawaban terdengar dari headset yang terpasang dalam helm pilot. Aku pun menekan tombol start engine. Tidak terjadi apa-apa. OK. Aku mencoba lagi karena mungkin merasa sedikit grogi. Mesin pesawat tidak mau menyala juga. Sekali lagi dan sekali lagi … tidak terjadi apa-apa, mesin tetap tidak mau menyala.
Terpaksa kami harus segera meninggalkan pesawat tersebut dan ganti dengan pesawat cadangan yang sudah dipersiapkan. Pesawat Anin juga mengalami masalah ‘Engine trouble’. Dia terpaksa Kami tinggalkan, karena kami sudah harus berangkat dan bergerak cepat menuju sasaran yang telah ditentukan oleh intelejen tepat waktu. Sehingga Kami berangkat dan hanya berbentuk formasi 3 pesawat saja. Aku sebagai leader, Gerit sebagai left wingman ( pendamping kiri ), dan Karen sebagai right wingman ( pendamping kanan ). Canopy menutup saat mesin jet dinyalakan. Sistem AC mulai hidup dalam mode otomatis saat canopy tertutup rapat, meniup wajah kami yang berkeringat akibat efek udara panas yang dihasilkan dari semburan mesin jet. Cek final dilakukan dengan cepat oleh cat officer yang langsung memberikan sinyal pada catapult operator, untuk ‘melepaskan’ kami.

Dalam waktu hanya 0.5 detik, pesawat hallorran berbobot 40.000 pon melesat dengan pesat. G-force ( gaya gravitasi yang dialami penerbang ) yang demikian besar hampir tidak terasa di tubuh, tapi sempat membuat pandanganku jadi buram untuk sesaat. Namun kami benar-benar melesat dengan mulus bagai anak panah yang melesat dari busurnya, dalam cuaca yang sedikit mendung pada malambulan September itu.

Beberapa menit kemudian, pesawat Anin sudah bergabung dengan formasi 3 Hallorran Kami, sehingga formasi genap menjadi 4 pesawat tempur. Terbang malam pun dimulai. Pesawat-pesawat tempur yang Kami awaki melakukan terbang formasi dengan jarak yang sangat dekat antar 4 pesawat di tengah pekatnya malam. Dengan hanya melihat lampu pesawatku sabagai Leader yang dijadikan patokan ( karena Kami terbang menggunakan mode ‘manual’ ), formasi yang hanya berjarak 2 meter antar pesawat tersebut dilakukan pada kecepatan 800 mil/jam.

Setelah melakukan ‘Air refueling’ ( pengisian bahan bakar di udara oleh pesawat tanker ).

Pukul 22.00 Aku diperintahkan bergegas mengarahkan formasi pesawat Kami untuk menyerang musuh di puncak Jaya Wijaya. Pukul 22.34 formasi demi formasi gelombang kedua lepas landas ( formasi pesawat F-16/A Fighting Falcon ). Sasaran untuk formasi dalam misi pertamaku ini adalah lapangan-lapangan terbang kecil ( Air strip ) di puncak Jaya Wijaya.

Ini adalah misi tempur pertamaku, juga untuk ketiga teman dekatku dalam melintasi batas, Aku penerbang VFX-09 Hallorran, Letnan satu berusia 23 tahun, salah satu dari empat penerbang termuda di skadron tempur khusus.

Keempat pesawat diisi bahan bakar tidak penuh, kerena semula kami hanya dipersiapkan untuk melakukan patroli dan pertahanan udara lokal ( Air patrol ) di perairan pulau Lombok.

Kami mencapai ketinggian yang telah direncanakan dan mengarahkan pesawat ke arah pegunungan Jaya Wijaya, tiba di atas lapangan-lapangan terbang kecil yang sudah ditandai dalam peta pada komputer pesawat sebagai lapangan terbang lawan, ternyata kami melihat lapangan-lapangan terbang kecil ( Air strip ) tersebut sudah berhasil dikuasai dan diamankan oleh pasukan Marinir dan pasukan Angkatan Darat. Setelah sebelumnya pesawat OV-10 ‘Bronco’ yang berpangkalan di kapal induk yang berlabuh di selatan pulau Irian menghancurkannya dengan ‘Cluster bomb’ ( bom penghancur landasan ).

Terlihat dari kokpit pesawatku bahwa landasan tersebut sudah hancur lebur terkena bom, dan disana-sini terlihat pesawat pembom F-111 Ardvaark milik musuh sedang terbakar. Disalah satu sisi pesawat pembom yang terbakar itu berdiri tegak F-14/D Super Tomcat yang sekonyong-konyong taxi ke landasan yang belum hancur benar, untuk lepas landas. Aku menerbangkan Hallorran dan berputar menukik ke arahnya dengan kecepatan tinggi sambil mengambil posisi untuk menembaknya. Seper sekian detik pesawat lawan telah terkunci. Namun setelah pesawat lawan terkunci, leader formasi F-16 tiba-tiba mencegahku. “Tinggalkan dia. Saya yang akan memburu dan menembak jatuh dia!.” Pada saat itu disiplinku masih tinggi. Apalagi semua penerbang dari skadron-skadron tempur selain dari skadron khusus Hallorran adalah terhitung sebagai senior kami ( usianya juga jauh lebih tua daripada kami dan lebih berpengalaman ). Ya sudah. Akhirnya Aku mengalah, berputar menjauh dan memberikan posisiku pada leader F-16, leader tersebut memburunya dan kemudian kulihat leader itu menembaknya. Itulah pertama kali Aku melihat dengan mata kepala sendiri pesawat meledak dan hancur berkeping-keping berserta awak pesawatnya ditembak di udara.

Kemudian, hampir sesuai dengan perkiraan, lubang hitam menuju neraka pun terbuka lebar. Tiba-tiba langit menjadi gelap, petir menyambar disana-sisni. Sekonyong-konyong, dalam sekejap langit sudah penuh dengan pesawat tempur, disana-sini terjadi dogfight, dimana-mana terlihat gumpalan ledakan, kilatan tembakan serta cendawan-cendawan asap. Teriakan-teriakan iblis yang menyatu dengan jasad para manusia membahana di angkasa membuat orang tercengang dengan lengkingannya yang menyayat hati. Semakin tinggi suaranya, akan membuat hati semakin merinding.

Kami berempat, ibarat anak kemarin sore diantara anak kemarin sore dalam Wing tempur kami.

Aku lihat dua F-14/D ‘Super Tomcat’ mengejar Hallorran kami. Aku berseru pada ketiga wingman-ku, juga sahabatku yang ditugaskan menjadi satu tim bersamaku, ... “ada yang mengikuti kita! ... cepat! ... bomberst horizontal!” secara reflek Aku dan teman-teman menyalakan afterburner, Aku mendorong tuas afterburner kedepan dengan tangan kiriku untuk mencapai maximum speed dan mengarahkan pesawatku untuk melakukan manuver “bomberst horizontal”, ... “ready! ... now!”, teriakku. Serentak keempat pesawat melakukan roll dan berpencar secara mendadak, dua ke arah kanan dan dua ke kiri untuk menghindari F-14/D tersebut dan ganti mendapatkan posisi menyerang yang bagus terhadap dua F-14/D itu dan mendekatinya sampai masuk jarak tembak misil. Aku mulai menembak pada jarak 300 m, tetapi tidak bisa mengenainya ... “ Fox II ... i missed the shot I’m closing for gun in twenty seconds ... “ seruku pada wing man-ku. Saat-saat yang sungguh memalukan, kepercayaan diriku serasa jatuh hingga ke dasar bumi. Hatiku serasa hancur berkeping-keping dan menyisakan satu gumpalan penyesalan kelam dalam pikiranku yang menyakitkan hati: “inilah Aku, sudah dipersiapkan dan dilatih selama tiga tahun dalam skadron tempur khusus dalam pertempuran ini hanya untuk meloloskan F-14 itu ... siaall!”. Ujarku dalam hati. Wing man-ku mencoba untuk membidiknya ... “ Galant, I’m tally two aircraft, now I’m going counter flow ... “. “Roger that Lancer” jawabku. Lalu Aku berputar menjauh dari pesawat Gerit, left wing man-ku untuk kembali mengambil jarak tembak yang bagus pula terhadap pesawat lawan. Aku coba untuk kedua kalinya. Aku merangsek ke arahnya kira-kira hingga 150 m, Aku berseru pada wing man-ku ... “ Lancer, I will be missile in two second, off low ... off low! “. Kemudian Gerit sebagai wingman-ku melakukan off low yang berarti menjauh kebawah terhadap pesawat lawan, kemudian Aku melepaskan tembakan dan dia meledak didepan mata kepalaku. Sekarang aku lega.  Rasa maluku kini terobati dengan hancurnya pesawat lawan. Setelah itu formasi 4 Hallorran yang Kami awaki harus ‘one eighty’  ( balik kanan ) menuju kapal induk di laut Aru.

No comments:

Post a Comment