Tuesday, June 9, 2015

CHAPTER 17: Langit Biru

Wajahku sudah tidak karuan. Penuh memar, luka, bengkak dan darah kering di mana-mana. Kami kemudian dimasukkan ke sebuah sel disamping asrama kuno itu. Tidak lama, kami kemudian dibawa lagi menuju ruang interogasi, tapi ditempat berbeda. Kami dibiarkan duduk di sebuah koridor yang terasa dingin dan lembabsampai tubuhku gemetaran karena pengaruh hawa dingin yang begitu menusuk hingga ke tulang sumsum. Masih dengan tangan terikat. Kakiku layaknya hampir mati rasa. Tempat tidur yang nyaman di rumah adalah cita indah yang teramat jauh untuk dapat kugapai. Meski hanya untuk sekedar membaringkan tubuh diatasnya.

Disudut koridor, aku lihat Anin duduk dalam tangis tidak jauh dari tempatku duduk, mengulum senyum pahit yang mencabik nurani sendiri. Aku langkahkan kaki menghampiri dia. Duduk disampingnya. Hanya duduk disampingnya tanpa kata-kata. Ia-pun merebahkan kepalanya diatas pundakku dengan nanar sorot matanya. Tanpa kata terucap.  

Hiburan bukanlah pesta meriah ataupun tamasya yang mahal. Hiburan sejati bagiku adalah bisa menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang yang kucintai.

Kami dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibuatkan jawabannya untuk dikirim ke stasiun televisi yang ada di seluruh nusantara melalui satelit, untuk disiarkan ke seluruh penjuru Tanah Air. Dengan tujuan untuk menekan pemerintah agar mau menyerah pada kaum D-myth dan menjadi budaknya. 

Penutup mataku dibuka. Sekelompok prajurit D-myth dengan jubah hitamnya tampak berkumpul dan terlihat sibuk di sekitar kamera televisi di tengah ruangan yang terlihat kelam dan menyeramkan itu. Kulihat Anin terduduk di kursi besi yang sudah berkarat.Menangis tepat disampingku dengan tangan terikat dibelakang kursi sama seperti aku, ia tidak kuasa meratapi apa yang sedang kami alami pada saat itu, juga teringat akan adik perempuan dan kedua orang tuanya. Ibunya yang berada jauh dirumah, juga almarhum ayahnya.

Setelah kembali dari siaran TV, Kami digabung dengan penerbang lain yang tertangkap. Diantaranya; Lewis Marsianto, co-pilot pesawat OV-10 Bronco lanud Abdulrachman Saleh-Malang. Kemudian Jeffry  Ghongon, pilot Hawk-MK 53 dari Kapal Induk “Proxima Centaury”. David Dongo Sipahelut, pilot F-16/A dari skadron 27.

Siangnya, kami kedatangan tawanan lain, Mayor Jeff Tice, seorang pilot F-16 Thailand yang dikirim pada hari ketiga saat perang berlangsung untuk membantu Indonesia. 

Thailand sebagai negara tetangga yang tergabung dalam ASEAN juga ikut membantu berperang melawan mahluk-mahluk menyeramkan yang muncul dari alam lain dengan menirimkan satu skadron F-16 ( satu skadron terdiri dari 12 pesawat ). Thailand juga dikenal sebagai negara yang akrab dengan Indonesia, juga dalam latihan tempur bersama yang diberi tajuk “Elang Thainesia”. Selain Thailand, Philipina, Singapura dan Brunei Darussalam juga ikut membantu dalam pertempuran ini

Setelah siaran TV, kami semua dinaikkan ke truk dan dibawa ke suatu bangunan kuno, mirip benteng kerajaan yang dijadikan sebagai penjara, dilokasi lain. Berbeda dengan para pemeriksa baat party, disini kami diperlakukan cukup manusiawi. Kami semua diberi selembar matras tebal sebagai tempat berbaring. Borgol yang membelenggu tangan kami dibuka. Baju diganti dengan satu setel pakaian bahan kanvas warna pink, yang masih baru. Kami semua. Pilot yang tertawan, tampak konyol dengan seragam tahanan dengan warna pink tersebut. Kecuali Anin. Aku melihat ia seperti menahan senyumnya saat memandang ke arahku ketika aku mengenakan seragam tahanan itu. “Apa kamu ... pakai senyum-senyum segala” kataku sedikit dongkol. “He ... he ... gak pa-pa kok, asik aja liat kamu pakai seragam warna pink” balas Anin. “Awas kamu ya! seruku. Kami berdua kemudian tertawa cekikikan dalam sel. Rasanya seperti diguyur air pegunungan yang menyejukkan nuraniku saat melihat senyum dan tawa Anindhita. Dengan lesung pipi, membuat paras wajahnya terlihat sangat cantik. Mukanya terlihat segar merona bagaikan buah apel. Selama dua minggu ditawan musuh, selama itu pula aku tidak pernah melihat senyum manisnya lagi, hanya isak tangis saja yang kulihat selama ini. Untuk sesaat kulihat Anin telah mengalahkan kekosongan dan kesunyian dalam hatinya.

Seorang dokter juga didatangkan untuk memeriksa mataku dan kesehatan semua tawanan perang yang ada disitu ( ternyata dokter tersebut juga termasuk salah satu tawanan perang ).

Anindhita. Sorot matanya mengatakan bahwa dia mencintai aku. Bukan gede rasa atau terkaan belaka, tapi inilah yang sebenarnya kurasakan. Dari semua yang muncul dan kami lewati bersama, aku menarik kesimpulan. Kadar ragu masih ada, cuma sedikit. Mesti dia tidak mengatakannya langsung, tapi aku berani bertaruh. Dia mencintai aku. Masih kutangkap dengan hati yang jernih dalam dada terbuka, anak panah cintanya yang selalu melesat bersama sentuhan lembut cahaya dan aroma wangi terbawa angin yang dingin, membuai mayang rambutku.

Mayor Jeff Tice berada di sel yang terletak disebelah sel Kami. Kami sempat ngobrol dengannya sepanjang hari itu. Tertawa bersama membicarakan pilihan warna baju tahanan yang kami kenakan. 

Tiap hari kugores dinding penjara dengan pengait jam tangan yang terbuat dari besi cuma sekedar menghitung hari, sejak kami tertangkap dan ditawan. Juga penanda atau prasasti di dinding batu itu sebagai saksi bisu bahwa aku pernah duduk berdua dengannya dan menatapnya.

Cinta bukan hanya sejengkal waktu yang bertopang dada terbuka, cinta itu adalah takdir bukan dendam yang bisa dipilih. Ia datang langsung dari Tuhan, bahkan seperti ruh ia mempunyai waktu yang lebih panjang dari sekedar tubuh ini.

No comments:

Post a Comment