Monday, June 8, 2015

CHAPTER 16: Nyawa Diujung Tanduk

Sepertinya Kami dibawa ke landasan udara yang menjadi sasaran Kami tadi.Saat kami dibawa turun, tampak sekumpulan awak pesawat bercampur beberapa tentara. Kebencian terpancar dari sorot mata mereka yang berwarna merah darah. Mengerikan! Kami merasa beruntung karena banyak perwiranya, kalau tidak, mungkin Kami bisa dibunuh begitu saja. Dengan bahasa Indonesia yang baik, salah satu awak pesawat D-myth yang bertugas tampak profesional menangani Kami.

Dengan mata tertutup, seorang petugas menggiring Kami ke sebuah bunker, War Operation Center ( WOC ). Sikap ramah mulai terasa hilang. Kami mulai dipukuli, ditonjok, ditendang dengan sepatu boot mereka. Tidak peduli bahwa salah satu tawanan adalah seorang perempuan.

Dengan berteriak didekat wajah kami mereka menanyai, “Apa yang kamu terbangkan?, darimana asalmu?, Dimana pangkalanmu?” bergantian Kami ditanyai.Tapi Kami tetap membisu. Kami hanya menjawab nama, tingkat, serta nomor Kami, itu saja.

“ Jika kalian tetap diam, kami akan kirim kalian ke Timika. Disana kalian akan dihabisi dan disiarkan di televisi!” begitu mereka mengancam Kami. Setelah satu jam diinterogasi, tali pengikat diganti borgol. Dengan mata ditutup Kami dinaikkan ke dalam truk.

Saat tiba di sebuah pangkalan lain, terdengar ledakan gencar bom. Buru-buru kami digiring ke bunker dan masuk ke sebuah ruangan yang lebih bawah. Anin dipisahkan dariku. Sekitar 7/8 petugas mulai lagi menonjoki, memukul dan menendangku dengan sepatu boot mereka. Darah mengucur dari hidungku.

Anin dibawa masuk kembali dalam satu ruangan bersamaku. Lalu Kami dibawa kesuatu ruangan lain. Kami didudukkan disebuah meja panjang dan seorang interogator yang mengenakan pakaian terbang Inggris ketat jaman perang dunia II, sepatu plastik coklat dan kaos coklat, kemungkinan dari baat party, mulai menanyai Kami lagi. Kami hanya menjawab sebatas nama, tingkatan, serta nomor Kami saja. Kemudian Aku dipisahkan lagi dari Anin, dibawa ke suatu ruang lain.

Sore harinya Aku dipertemukan kembali dengan Anin dalam satu ruang interogasi. Mereka mulai menjambaki rambut dan membenturkan kepala Anin ke tembok. Mataku yang memar dan masih terasa sakit, menjadi sasaran empuk. Dengan tongkat kayu, kursi, dan benda-benda apapun yang ada disitu, mereka memukuliku, sambil berteriak menjerit bagai orang kesurupan. Tapi Aku tetap bertahan untuk tidak mengeluarkan suara kesakitan. Karena begitu Aku berteriak, berarti mereka berhasil menguasai Aku.

Pada sesi ke-3, kakiku yang sakit juga mulai menjadi sasaran. Diinjak bertubi-tubi dengan sepatu boot. Waktu itu rasanya Aku sudah tidak bertenaga lagi. Mereka baru melepaskan Aku setelah terkulai tak berdaya. Mereka gagal mendapatkan informasi mengenai Hallorran kami ataupun rencana serangan negara koalisi.

Aku dibawa lagi kesebuah ruangan. Dua orang yang berperan sebagai si Baik dan si Jahat siap menginterogasiku. Si baik mengajakku bicara dengan manis sekali, sambil menawarkan makanan dan minuman, yang semuanya Aku tolak. Tak satupun pertanyaan si Baik yang Aku jawab.

Begitu juga, Aku tidak termakan dengan ancaman si Jahat. Bahwa Aku akan disiksa, dipukuli, ditaruh diruangan gelap, tanpa diberi makan dan minum.

Si Baik kembali mendatangiku, “ Saya tahu, nama Anda Flt. Lt. Ara kan?! Anda seorang pilot. Anda dari skadron XV”. terkejut Aku mendengarnya. Apa Anin buka mulut? apa yang mereka lakukan pada dia?.

“Saya tahu Anda gagal menyerang. Anda tidak berhasil melepaskan bom dan bom itu Anda lepaskan dipadang pasir kami kan?! si Baik terus membacakan perbuatan kami. Akupun makin yakin, pasti Anin sudah buka mulut.

Gagal membuatku bicara, mereka membawaku ke ruangan lain. Dengan tangan terikat, Aku disuruh berdiri dengan kepala menempel ditembok dan kedua kaki berada sekitar 20 inci dari tembok. Sehingga Aku harus bertahan dengan jari-jari kakiku. Tidak boleh bergerak sedikitpun.

Karena tidak tahan, Akupun terjatuh. Mereka memukuliku, ... berkali-kali, mungkin ratusan kali kepalaku dibenturkan di tembok, terhitung sejak pertama kali Aku tertangkap. Aku merasa sudah tidak berdaya. Saat itulah mereka meninggalkan Aku, dan membiarkan Anin bersamaku lagi. Anin berjalan sempoyongan ke arahku, bersimpuh didepanku sambil memelukku erat sekali. Matanya lekat menatap mataku. Tengah malam ini. Hening dan senyap. Suara jangkrik bersahutan. Dingin dan banyak nyamuk.

Anindhita. Dia dengan segala yang melekat dalam pribadi serta wujudnya yang merona mempesona, begitu mengerti aku keseluruhan. 

Dia mengaku, kalau Dia sudah mengatakan sesuatu pada mereka. “Ya sudah, ... it’s ok”, jawabku lirih sembari membalas tatapannya. “Aku bukan mentari, ra. Yang selalu hangatkan di setiap pagi yang kamu jalani”. Katanya lagi. “A ... apa maksud kamu?”. Tanyaku tak mengerti. Ia cuma diam dan membalas pertanyaanku dengan senyumnya.

Setelah itu, petugas memasukkan Aku ke sebuah ruangan dan mendudukkanku di atas sebuah tempat tidur. Borgol dibuka karena tanganku kesakitan. Aku langsung terlelap. Baru terbangun setelah matahari sudah meninggi. Ternyata Aku berada di tempat semacam ‘asrama’.

Penjaganya, yang Aku namai ‘ Ndas Kutrik’ ( bahasa jawa, yang artinya kepala capung. Aku namai seperti itu karena bentuk kepalanya mirip capung bila dilihat dari samping ), terasa ramah. Sorenya Aku dan Anin dibawa keluar dari ruang tahanan. Kembali ke ruang interogasi. Aku didudukkan di kursi dengan tangan masing-masing dipegang kiri-kanan oleh dua orang penjaga, lalu kembali ditanyai dan dipukuli. Wajah, perut, kepala, menjadi sasaran. Darah segar mengucur di wajahku.

Anin didudukkan di kursi disisi kiriku. Dengan posisi duduk menghadap ke arahku. Mungkin musuh ingin mengorek keterangan dari Anin dengan cara menyiksaku, lalu semua jawaban mengalir darinya. Tapi Aku yakin Anin tidak akan melakukan hal itu, apalagi selama Aku berada disampingnya dengan support mental. 

Saat itu pada bagian belakang kerah baju terbangku dimasukkan kertas yang sudah dicelupkan pada sedikit minyak tanah pada sebuah botol kaca yang terletak di sudut meja interogasi. Rupanya mereka sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum Kami dibawa masuk menuju ruang interogasi. “Gawat!, ... mereka akan membakar Aku!”-pikirku. Kertas itu pun mulai disulut. Diletakkan sedikit masuk ke dalam kerah baju terbangku. Aku berusaha agar kepalaku tidak menjadi terpanggang karena bara api dengan cara mengeleng-gelengkan kepalaku dan sedikit meronta agar kertas yang dibakar jatuh ke lantai, tapi usahaku tidak berhasil. Anin dipaksa untuk menyaksikan itu semua. Pada saat kepalanya tertunduk karena tidak tega melihatku, rambut panjangnya yang lurus dijambak agar kepalanyatetap menengadah untuk bisa melihat perlakuan mereka terhadapku. Seluruh tubuhnya gemetaran dan hanya bisa menangis histeris serta berteriak dalam keadaan tangan dan kaki terikat dikursi, “jangan, ... jangan bakar Dia, Aku mohon!”  melihatku disiksa dengan cara seperti itu.

Setelah hampir membakar seluruh kerah baju terbangku, dan tengkukku mengalami sedikit luka bakar, baru api dimatikan. Sakit dan perih sekali rasanya. Lalu Aku mulai diberondong pertanyaan lagi: “dari skadron mana kamu choi?!”.

Selain itu, salah seorang penjaga dengan kedua matanya yang  cekung masuk kedalam karena tidak memiliki dua bola mata bergerak ke arahku. Tampaknya kedua bola matanya seperti hangus terbakar menarik tangan Anin dengan kasar agar segera berdiri. Membawanya berdiri tepat dihadapanku dengan kedua tangan yang masih terikat. Kemudian penjaga itu mendekap tubuh Anin dari belakang. Tangannya mulai nakal dan meremas-remas buah dada Anin dihadapanku. “Jangaan ... jangaaan!” teriak Anin sembari menangis dan berusaha meronta dengan tubuh yang sudah tidak berdaya. “Jangaan ...” terdengar kembali lirih suara Anin disertai isak tangis. “Ini mungkin juga salah satu trik mereka, dengan saling mengadu kekuatan mental Kami berdua untuk mendapat keterangan” ujarku dalam hati.

“Lima belas!”. Akhirnya, Aku menjawab sambil mengerang kesakitan. “Aku akan jawab! ... tapi lepaskan dulu dia! ... jangan sentuh dia!” teriakku. Salah seorang penjaga yang Aku rasa sebagai pimpinan interogasi itu menatap dan mengangguk pada temannya yang sedang asyik meraba-raba dan meremas-remas buah dada Anin. Penjaga tersebut kemudian mendudukkan kembali Anin pada posisi semula. Pertanyaan dari mereka pun mengalir. Sadar kami tidak tahu menahu soal rencana besar Jendral Jack, mereka pun mengalihkan pertanyaan mereka pada persenjataan yang kami bawa. Semua pertanyaan mereka Aku jawab ( tentu saja semua jawaban yang Aku berikan adalah palsu ). Semua yang Aku lakukan adalah demi menjaga kehormatan Anin. Orang yang Aku sayangi. Orang yang sangat berarti bagiku. 

No comments:

Post a Comment