Sunday, June 7, 2015

CHAPTER 15: VFX-09 Hallorran Dihajar SAM

Jempol tangan kanan Anin menekan tombol release bomb dengan kuat, sambil terus menanti lampu indikator pada monitor berkedip, tanda terlepasnya bom dari pylon ( cantelan bom ) yang terletak didalam perut pesawat. Tapi lampu indikator tidak juga menyala. Berarti bom juga belum terlepas dari pylon dan keluar dari perut pesawat. Anin mulai panik. Peluru D-Myth masih gencar menembaki kami. Padahal, dengan beban yang cukup berat, tentu saja kami terbang lebih lamban ibarat mahluk dengan volume tubuh yang melebihi kapasitas normal dan proporsional, atau dengan kata lain mahluk gembrot, sedang mengikuti lomba lari 10 km.

VFX-09 Hallorran memang memiliki desain mesin yang sangat rumit, karena mesin pesawat tersebut mampu melakukan sederetan tugas. Untuk itu Hallorran memiliki satu set rangkaian tombol untuk masing-masing jenis serangan. Tanpa rangkaian yang benar, serangan tidak akan terjadi.

Entah mungkin Anin lupa membuat rangkaian loft serangan kami atau tidak terlalu kuat menekan tombol. Atau memang ada ketidak beresan dalam sistem bidik komputer.

“jangan sampai kita gagal!” Ayo, lakukan serangan ulang!” seru Anin. Padahal, ini ‘suatu kegagalan besar’. Tapi kami juga tidak ingin kembali dengan catatan; gagal! Saat itu terdengar lagi teriakan Anin, “ cepat jatuhkan bom!” tapi Aku masih berpikir.

“Jangan bodoh!” teriak Anin seakan Dia membaca pikiranku. Drrrttt … drrrrrttt, Anin akhirnya menekan tombol ( pada Hallorran, pilot dan navigator masing-masing memiliki tombol untuk melepaskan bom ). Bom terlepas dan meluncur ke arah padang pasir. Tidak meledak. Tergolek dipasir begitu saja. Hallorran pun terasa lebih ringan. Kami terbang di belakang kedua pesawat rekan kami, yang sudah berkali-kali mengontak tapi belum sempat kami jawab. “Ok! ... sekarang cepat kembali!” perintahku sebagai pimpinan formasi.

Pada pass yang ketiga Aku merasakan benturan keras di bawah tempat dudukku, yang pertama melintas di kepalaku: mungkin kiranya seperti inilah yang dialami Fino. Fino Praestha teman baikku sesama pilot muda yang tewas pada hari pertama perang karena terkena tembakan artileri sesaat setelah berhasil melakukan eject dari pesawatnya yang tertembak. Dia baru sebulan menjadi leader dalam satuan khusus Hallorran sebelum akhirnya gugur.

Aku pandangi setiap sudut kokpit dan tidak melihat cahaya tanda bahaya. Semuanya tampak normal-normal saja, tidak ada kelap - kelip cahaya lampu indikator emergency atau suara.
Aku berbelok ke kanan untuk melintasi Timika. Rasa-rasanya sudah jelas kami terpaksa melakukan bail out. Tekanan mesin pesawat menunjukkan 10.000 rpm; waktu itu Aku berpendapat 8.700 rpm adalah titik mesin akan hancur berantakan. Turbin rasanya sudah akan pecah tetapi Kami terus saja. Tongkat kemudi ( stick ) terasa berat dan Aku terpaksa menahannya sekuat mungkin; stick seperti terus-menerus menarikku kedepan. Aku mencoba untuk naik tetapi pesawat tidak bereaksi. Ternyata peluru 39 mm telah menghantam pesawat Kami tepat dibawah tempat duduk kami. Seluruh bagian kiri kokpit berantakan, termasuk kotak sambungan kabel instrumen dan pipa-pipa kemudi. Pecahan peluru menghantam pula kakiku dan darahnya terus mengalir. Seolah tidak sempat untuk merasakan sakit dan perihnya kaki yang mengucurkan darah. Secepatnya Kami terbang menjauhi sasaran Kami semula sebelum pesawat Kami tertembak dan berusaha untuk menghindari jangkauan tembakan misil musuh. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras, sepertinya suara benturan. LaluHallorran kami terhempas kuat.

“Ya Tuhan, … ternyata bukan suara benturan ... mesin bagian atas mati”. Stick juga hampir tidak bisa digerakkan, sementara alarm peringatan tanda kebakaran menyala. Kami dihajar telak oleh SAM! “ ( SAM bukan paman SAM, tetapi SAM adalah singkatan dari Surface to Air Missile alias Misil dari Darat ke Udara ).

Di masa damai, dalam situasi ini seorang awak pesawat biasanya lebih memilih untuk ‘melontarkan’ diri. Tapi dalam suasana perang, apalagi masih di daerah musuh, kami lebih memilih terus terbang dengan harapan api akan mati sendiri.

Ini bukan sekedar harapan tanpa suatu alasan yang pasti. Mesin Hallorran dibalut dengan bahan titanium, yang menurut teori orang pintar ( bukan dukun atau semacamnya ), bahan tersebut anti api. Apalagi bahan bakar pesawat yang sangat canggih ini tersimpan jauh didalam perutnya, sehingga bisa dipastikan tidak akan menyulut api sekalipun kita melemparkan korek api yang menyala atau puntung rokok yang menyala ke dalam mesin pesawat ini. Aku pernah sekali melihatnya dalam suatu demonstrasi uji ketahanan dan kekuatan pesawat ini. Tapi harapan kami pupus ketika melihat tubuh bagian belakang pesawat sudah dilahap ‘si jago merah’.

Hallorran kami ibarat burung elang yang menggelepar kesakitan setelah ditembak pemburu, terguncang hebat tetapi masih bisa melakukan gerakan roll. Getarannya demikian kerasnya sampai-sampai terasa disekujur tubuh, dan hati Kami berduapun ikut gemetar. Sampai-sampai masker oksigen Anin terlepas dari mukanya dan menggantung terayun-ayun, kadang-kadang menghalangi pandangannya.

Tubuhku sendiri terdorong dan terguncang kesana-kemari. Pesawat Kami masuk spin datar ( pesawat berputar-putar cepat dengan ketinggian makin rendah ). Aku tidak kuasa lagi mengendalikan Hallorran. Aku tidak bisa melihat panel instrumen ( air speed dan altitude ) dan selama beberapa lama hanya terang-gelap yang tertangkap oleh mataku. Terang kalau sedang berada dalam awan, gelap kalau keluar awan.

Aku segera memberi perintah untuk Anin, “Bersiap untuk eject!, bersiaplah melontar keluar!” tapi Anin masih berkeras untuk menunggu beberapa saat lagi. Dia mencoba untuk konfirmasi status kami pada wingman kami, Gerit dan Karen. “Pesawat kami terbakar!, kami harus keluar!” … namun tidak ada jawaban sama sekali dari Gerit maupun Karen .

Sekali lagi Aku berseru pada Anin untuk segera melakukan eject. “Tiga!, dua!, satu!, Eject!, Eject now celica! . Lalu kami terlempar dan terhempas dengan kuat ke angkasa pada ketinggian 14.000 kaki dan diterpa angin yang sangat kencang, berputar-putar, hingga parasut kami mengembang. Kami mengelantung dan bergelayut pada parasut dengan tas berisi peralatan penyelamat seberat 20 pon yang tergantung diantara kedua kaki kami.

Dengan payung mengembang pada ketinggian sekitar 5.000-an meter itu Kami turun ke bumi dengan keluar-masuk melewati awan.

Baru pertama kali ini Aku merasakan bahwa tas survival kit yang sehari-hari jadi bantal alas duduk kursi lontar terasa begitu beratnya. “Kurang ajar berat amat!”. Setelah kursi lepas dan jatuh sendiri ke bumi karena kursi tersebut berat, jatuhnya lebih cepat dari Kami. Tas survival kit tergantung di badan penerbang. Karena titik beratnya di belakang, pantat terasa seperti ditarik ke bawah.

Ternyata Gerit dan Karen melihat Kami berdua eject dari pesawat dan lewat radionya melaporkan kejadian itu ke Kapal Induk “Proxima Centaury”.

Disaat Kami bergelayut dengan parasut, tiba-tiba aku teringat akan sms dari Anindhita pada malam hari saat akan mengikuti air show di Bandara Juanda-Surabaya. Saat itu Anin tidak terpilih sebagai salah satu tim air show. Tanggal 23.12.2006, pukul 21:25 “ Malem Ara … Ara pulsa Celica tinggal dikit nih, telfon aku dong sekarang, please?!, tapi kalo Ara ga’ mau juga ga’ papa ”... 12 menit berikutnya ... tanggal 23.12.2006, 21:37 ... “ Anin kangen banget Ara, Anin ga’ mau kehilangan Ara “. Mungkin saat ini aku tak akan mampu menangis, tak mampu kiaskan ketakutanku lewat kata ataupun raut muka, karena sekali lagi, aku telah lupa dengan semuanya. 

Tapi kini setelah berhasil selamat dari maut untuk yang pertama kalinya ( saat berhasil melakukan bail out ) kami berdua akan berhadapan kembali dengan maut setelah nanti berhasil menjejakkan kaki di bumi. Aku berkata dalam hati, “Aku juga ga’ mau kehilangan kamu Anin”. Aku menoleh ke arahnya yang berjarak kira-kira 300 meter dariku.

Aku menyaksikan Hallorran kami crash. Di bawah payung parasut, kami berdua sempat ‘menonton’ Hallorran Kami jatuh berputar-putar seperti spiral lalu menghantam tanah. Bola api raksasa tampak membumbung tinggi diikuti asap hitam tebal. Aku ‘mendarat’ dengan bagian belakang tubuh lebih dulu. 

Aku memandangi sekujur tubuhku. Masih lengkap, mengenakan seragam terbang hijau yang akan terlihat jelas dari udara setelah matahari terbit. Di dekatku hamparan parasut berwarna biru tua dengan motif batik warna putih hasil deasin Karen yang tampak konyol bagiku. Warna putih tersebut akan lebih jelas lagi terlihat. Itulah yang pertama harus disembunyikan ( baru kali ini ada parasut dengan motif batik ). Anin juga telah berhasil mendarat dan berada sekitar 100 meter dari tempatku berdiri. Aku segera berlari mendekatinya. Lalu memeluknya. Ada darah mengalir dari begian atas mata kiri Anin. Aku segera menyeka darah yang mengalir dari bagian atas mata kirinya dengan sapu tangan yang aku ambil dari saku kiri baju terbangku. “Cepat lari dari sini! kita berada di daerah lawan!” Aku mengingatkan. Dengan terhuyung berbebankan G-suit berkantung air, pistol, baju terbang yang dilengkapi tempat buang air, helm dan ransel, Kami berjalan sampai sekitar 1 kilometer. Bersamaan dengan merayapnya waktu, yang tumbuh di benakku adalah bukan pertolongan SAR lagi, tetapi bagaimana cara Kami untuk menghindari musuh.

Setelah mengubur life jacket, pelampung, parasut, harness, dan helm di dalam pasir, kami meneruskan perjalanan. Tidak bisa cepat, karena kakiku cedera saat melakukan eject. Selain kesulitan menentukan waktu, kami juga kerepotan menentukan arah kemana kami melangkahkan kaki. Tidak ada landmark atau apalah yang bisa dijadikan patokan dipadang pasir tandus itu. dalam keadaan seperti itu siapapun memang akan bingung.

Kemudian Anin mengeluarkan radio survival-nya dan memanggil-manggil siapa saja yang bisa dipanggil ( tentu saja dari pihak kawan ). Radio yang kubawa adalah jenis PRC-112 yang kemampuan jangkaunya lebih jauh dan memiliki kemampuan untuk mencari arah. Sedangkan Anin sendiri dilengakapi dengan PRC-90 yang tidak punya kemampuan seperti itu ( radionya masih tipe jadul ). Tapi memang hanya disediakan satu PRC-112 untuk tiap set awak pesawat.

“Kami ditembak jatuh, tapi Kami selamat”, katanya memberi informasi. Lalu Ia mengatakan bahwa Kami akan berjalan ke arah barat. padahal Kami akan bergerak menuju ke arah Timur. Sekedar untuk mengecoh tentara musuh apabila pembicaraan lewat radio disadap, namun apabila ada yang mendengar panggilan kami, kami akan mengatakan dengan kode, bahwa yang Kami katakan itu adalah untuk mengecoh tentara lawan saja. Walau sebenarnya kami berdua juga bingung dengan ‘arah’, kemana Kami harus pergi ( Kami kan baru sekali ini ditembak jatuh oleh lawan, jadi masih belum punya pengalaman tertembak jatuh ). Diluar itu semua, Kami juga benar-benar bersyukur, karena pada pengalaman pertama Kami ditembak jatuh. Kami selamat.

Aku teringat pada satu ajaran saat di sekolah Survival, Evasion, Resistance and Escape ( SERE ) bahwa pilot yang tertembak jatuh sering tertangkap karena meminta tolong lewat radio survival terlalu cepat, sehingga posisinya cepat diketahui.

Sebenarnya ada ajaran dalam survival tempur : carilah ketinggian agar pancaran radio survival tidak terhalang medan dan lapangan terbuka yang dapat didarati helikopter dan tidak rawan terhadap tembakan.

“Sudahlah, sekarang Kita harus cari tempat berlidung terlebih dahulu, baru nanti Kita coba untuk melakukan kontak radio lagi”. kataku pada Anin. Juga dengan maksud agar Dia tidak terlalu sering menggunakan radio survival-nya yang bisa membuat Kami berdua tertangkap.

 Tiba-tiba Aku juga teringat, bahwa Kami harus ‘membersihkan’ diri dari benda-benda yang bisa menguntungkan pihak intelejen musuh. Peta rute yang menunjukkan dimana tempat Combat Search and Rescue ( CSR ), terpaksa Aku telan sebagian seperti adegan yang pernah Aku lihat dalam film action yang pernah diputar di televisi ( jadi korban acara televisi ), dan aku baru menyadari bahwa pahit benar rasa kertas jika dimakan tanpa saus pedas dan sisanya Aku kubur ( karena sudah tidak tahan lagi makan kertas yang rasanya pahit banget ). Setelah satu jam lebih berjalan, perasaan Kami jadi tidak enak.

Dengan perasaan yang tidak menentu dan ketakutan, kami berjalan merayap seperti kadal gurun. Benar saja. Sebuah truk datang mendekat ke arah Kami. Aku menyiapkan pistol ditangan. Kami tetap dalam posisi tiarap, tanpa ada suara dan gerakan sedikitpun, dengan harapan agar mereka tidak melihat kami. Tapi berbeda kenyataannya. Mereka melihat Kami dan mulai menembaki Kami, sekedar tembakan peringatan agar Kami tidak melarikan diri.
“mereka mendekat! ... gimana nih?!” kata Anin padaku. “Apa kita tembak saja mereka?”

“Jangan!” kataku, “cobalah untuk tetap tenang dan tegar, siapa tahu ada sedikit harapan” benar juga kataku. Tak ada yang bisa kami lakukan selain berdiri secara perlahan dengan mengangkat tinggi kedua tangan. Keringat dingin mulai mengucur, jantung berdebar kencang, dan tubuh mulai gemetaran menahan rasa takut. Pistol ditangan Aku jatuhkan. Mereka semua berjumlah 12 orang dengan senjata otomatis: 4 orang D-myth, sisanya, yang berseragam serba hitam dengan topi pilot berbahan kulit berwarna coklat jaman perang dunia II, jelas mereka adalah awak pesawat dari pangkalan udara yang baru kami serang. Salah seorang berjalan mendekati kami, berteriak ( entah apa yang dikatakannya, karena dia menggunakan bahasa planet yang kami tidak mengetahui artinya ) sambil menonjok wajahku. Kami digeledah. Mereka mengambil semua benda milik kami. Kemudian dengan tangan terikat kami dinaikkan ke dalam truk.

No comments:

Post a Comment